Jumat, 04 September 2015

Perbedaan Lamaran Dan Tunangan

Di masyarakat kita saat ini, kita sering mendengar istilah pertunangan sebagai salah satu proses yang ditempuh menjelang pernikahan. Kesan yang kita tangkap dari istilah ini adalah perjanjian dua orang manusia yang berbeda jenis untuk hidup dalam ikatan perkawinan. Pertunangan ini biasanya dilaksanakan setelah sekian lama berpacaran dan merasa ada kecocokan di antara kedua belah pihak. Kalau dalam pacaran baru sebatas merasa saling memiliki, dalam fase pertunangan ini keduanya sudah menjanjikan untuk hidup bersama, dalam ikatan pernikahan. Ingat, jangan mudah tertipu, ini hanya perjanjian untuk menikah, bukan menikah. Dan ini bukan definisi, melainkan hanya sekedar kesan yang bisa kita rasakan. 
Bagi sebagian orang Islam, pertunangan ini dianggap sama dengan khitbah, atau lamaran. Khitbah atau lamaran sendiri artinya adalah permintaan dari pihak lelaki kepada wali pihak wanita untuk menikahi si wanita tersebut. Memang perbedaan antara tunangan dan lamaran bagi sementara orang sangat tipis, sebab keduanya adalah sama-sama salah satu tahap pra nikah. Tetapi kalau dicermati ada perbedaan di antara keduanya yang cukup signifikan. Berikut ini adalah beberapa fakta perbedaan antara tunangan dan khitbah.
Pertama; Dalam hukum Islam, lamaran itu disampaikan kepada wali calon mempelai wanita, khususnya jika ia masih gadis. Sedangkan dalam tunangan tidak ada aturan agar tunangan itu disampaikan kepada walinya. Pernyataan tunangan itu bisa disampaikan kepada wali, ibu, kakak perempuan, atau bahkan calon mempelai itu sendiri. 
Kedua, dalam ajaran agama Islam, jika lamaran itu diterima maka proses pernikahan akan diusahakan bisa dilaksanakan secepatnya. Soal rentang waktu memang relatif, tergantung kesiapan masing-masing individu. Tetapi pada umumnya tidak sampai hitungan tahun sudah kelar. Persoalan yang biasa cukup menghambat adalah persiapan resepsi yang membutuhkan dana cukup besar. Sedangkan dalam tunangan, pernikahan itu masih cukup jauh jaraknya, bahkan bisa bertahun-tahun. 
Ketiga, orang yang sudah melamar seorang wanita tetap akan menjaga diri dalam bergaul dengan calon pengantin wanitanya. Karena keduanya belum terikat pernikahan maka keduanya masih haram untuk bertemu, berdua-duaan di tempat yang sepi. 
Sementara kebiasaan yang terjadi pada tunangan, orang yang sudah saling bertunangan akan semakin mengeratkan hubungan mereka. Mereka akan semakin sering bertemu, kirim kabar, atau yang semisalnya. Kadang-kadang dalam beberapa hal sudah saling menanggung urusan tunangannya, seperti dalam jual beli dan hutang piiutang. Bahkan hal yang dilarang dalam masa pasca lamaran bisa dianggap boleh oleh pasangan yang telah bertunangan. Hingga tak jarang di antara pasangan yang bertunangan ini ada yang telah melakukan pola kehidupan layaknya suami isteri. Hal ini sudah tidak mengejutkan lagi dalam kehidupan masyarakat saat ini. Mereka berani melakukan demikian karena merasa sudah pasti akan dilakukannya ikatan pernikahan.
Keempat, lamaran didasari tekad yang kuat untuk mengikat tali pernikahan. Untuk menambah kuatnya hasrat untuk menikah ini disyari’atkan untuk nadhar (melihat) calon mempelai sebelum adanya lamaran. Dasarnya adalah hadis nabi :


إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ


Apabila salah seorang di antara kalian melamar seorang wanita, jika mampu untuk melihatnya agar mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah (HR Abu Dawud)
Adanya syari’at untuk melihat calon pasangan sebelum melamar ini karena di dalam lamaran kedua belah pihak belum akrab. Tetapi ini pun bukan sebuah persyaratan yang harus dilalui. Andaikata hanya dengan melihat foto, atau mendapat cerita dari orang kepercayaannya sudah cukup, maka dengan cara demikian pun boleh saja. Bahkan tidak melihat dan tidak mengetahui sama sekali calonnya, karena begitu tinggi tawakkalnya, itupun boleh.
Sementara pertunangan tidak akan ada ajaran nadhar, sebab sejak bertahun-tahun lamanya sudah saling melihat, saling menyapa dan bergaul, bahkan mungkin lebih dari itu. Hingga tunangan bisa dikatakan hanyalah sekedar meningkatkan intensitas “hubungan percobaan” antara pasangan laki-laki dan perempuan sebelum menikah atau sekedar hubungan cinta belaka atau hubungan sesaat. Semuanya hanyalah menjadi bagian “hubungan percobaan” itu, tanpa ada kesepakatan apapun yang dilanggar.
Antara lamaran dan tunangan memang tipis, letak perbedaan yang paling mendasar antara keduanya adalah pada landasan ideologis. Lamaran dilandasi oleh semangat menjalankan syari’at islam, sementara tunangan hanya dilandasi oleh rasa suka dan cinta belaka. Khitbah diatur dengan aturan Islam, sementara tunangan diatur dengan aturan adat dan tradisi belaka. Khitbah terikat dengan moral islam sementara tunangan tidak ada yang mengikatnya. Khitbah lahir dari peradaban islam, sementara tunangan lahir dari peradaban Barat.
Sayangnya banyak kaum muslimin saat ini yang tidak peduli dengan peristilahan yang berkembang di masyarakat. Padahal bermula dari istilah itulah, kemudian tradisi-tradisi yang lain pun akan mengikuti. Kita saksikan perbedaan lagi dalam pelaksanaan lamaran yang islami, biasanya tidak ada perayaan besar-besaran. Kenapa demikian, karena masih disadari bahwa proses ini bisa berlanjut dan bisa pula batal. Tetapi dalam tunangan sebaliknya, justru dilakukan pesta besar, karena merupakan perayaan kesuksesan atas fase pertama, yakni pacaran. Karena dianggap sebagai sebuah kesuksesan, maka selayaknya diadakan pesta perayaan.
Selain perayaan yang ditandai dengan makan-makan, kadang-kadang juga terdapat acara ritual yang diimpor dari budaya Barat seperti tukar cincin dan budaya non Islam lainnya (misalkan memakai pakaian dalam warna tertentu). Dalam Islam tidak dikenal tradisi tukar cincin, lalu saling memakai cincin tanda perkawinan. Jangankan memakai cincin perkawinan, memakai emas saja bagi kaum muslimin dilarang. Rasulullah saw bersabda :


عَنْ أَبِي مُوسَى أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَحَلَّ لِإِنَاثِ أُمَّتِي الْحَرِيرَ وَالذَّهَبَ وَحَرَّمَهُ عَلَى ذُكُورِهَا


Dari Abu Musa, bahwa Rasulullah saw bersabda, Sesungguhnya Allah swt menghalalkan bagi wanita umatku emas dan sutera, tetapi mengharamkan bagi laki-laki umatku (HR an-Nasa’i)
Memakai cincin emas bagi laki-laki muslim adalah terlarang. Melakukan tukar cincin juga terlarang, sebab hal tersebut berarti meniru-niru tradisi non muslim. Rasulullah saw bersabda :


عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ 


Dari Ibnu Umar ra, ia berkata; Rasulullah saw bersabda; Barangsiapa meniru-niru suatu kaum maka ia termasuk ke dalam golongan mereka (HR Abu Dawud)
Islam tidak pernah mengajarkan pola hubungan seperti tunangan itu. Khitbah dalam islam senantiasa diikat dengan nilai dan moral Islam. Segala bentuk hubungan antara calon lelaki dan calon wanita yang sudah melakukan khitbah adalah sama dengan hubungan laki-laki dan wanita yang tidak terikat khitbah. Hal ini haruslah menjadi perhatian kaum muslimin, agar tidak kehilangan jati diri dan budayanya. Allahu a’lam bish-shawa.


salam cincin pernikahan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar