Mas kawin tidak mesti berupa uang atau harta benda, akan tetapi boleh juga hal-hal lainnya. Untuk lebih jelasnya, berikut ini hal-hal yang dapat dijadikan mas kawin atau mahar:
1. Semua benda atau alat tukar (uang) yang dapat dijadikan harga dalam jual beli seperti uang atau benda-benda lainnya yang biasa diperjualbelikan dengan syarat benda atau uang tersebut, halal, suci, berkembang, dapat dimanfaatkan dan dapat diserahkan.
Oleh karena itu, harta hasil curian, tidak dapat dijadikan mas kawin karena ia barang haram bukan halal. Demikian juga, peternakan babi tidak dapat dijadikan mas kawin karena bendanya tidak suci. Piutang yang belum jelas kembalinya, juga tidak dapat dijadikan mas kawin lantaran tidak dapat diserahkan. Point pertama ini didasarkan kepada ayat berikut ini:
ْﻢُﻜِﻟاَﻮْﻣَﺄِﺑ اﻮُﻐَﺘْﺒَﺗ ْنَأ ْﻢُﻜِﻟَذ َءاَرَو ﺎَﻣ ْﻢُﻜَﻟ ﱠﻞِﺣُأَو
Artinya: "Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu…" (QS. An-Nisa: 24).
Kata amwal dalam ayat di atas dipahami oleh para ulama sebagai mas kawin, mahar.
Menurut Madzhab Syafi'i dan Hanbali, pekerjaan yang dapat diupahkan, boleh juga dijadikan mahar. Misalnya, mengajari membaca al-Qur'an, mengajari ilmu agama, bekerja dipabriknya, menggembalkan ternaknya, membantu membersihkan rumah, ladang atau yang lainnya. Misalnya, seorang laki-laki berkata: "Saya terima pernikahan saya dengan putri bapak yang bernama Siti Maimunah dengan mas kawin akan mengajarkan membaca al-Qur'an kepadanya selama dua tahun, atau dengan mas kawin mengurus ladang dan ternaknya selama dua bulan". Akan tetapi menurut Abu Hanifah dan Imam Malik, mahar dengan pekerjaan yang dapat diupahkan hukumnya makruh (dibenci).
Penulis lebih condong untuk mengambil pendapat madzhab Syafi'i yang membolehkan kerja sebagai mas kawin. Hal ini sebagaimana telah terjadi ketika Nabi Musa menikahi salah seorang gadis laki-laki tua (dalam satu riwayat dikatakan laki-laki tua itu adalah Nabi Syuaib), dengan mas kawin bekerja untuk laki-laki tua itu (calon mertuanya) selama delapan tahun sebagaimana difirmankan oleh Allah swt dalam surat al-Qashash ayat 27:
ﺖْﻤَﻤْﺗَأ ْنِﺈ َﻓ ٍﺞ َﺠِﺣ َﻲِﻥﺎ َﻤَﺛ ﻲِﻥَﺮُﺟْﺄَﺗ ْنَأ ﻰ َﻠَﻋ ِﻦْﻴَﺗﺎ َه ﱠﻲَﺘَﻨْﺑا ىَﺪْﺣِإ َﻚ َﺤِﻜْﻥُأ ْنَأ ُﺪ ﻳِرُأ ﻲﱢﻥِإ َلﺎَﻗ ْﻨِﻋ ْﻦِﻤَﻓ اًﺮْﺸَﻋ َكِﺪ
ﺖْﻤَﻤْﺗَأ ْنِﺈ َﻓ ٍﺞ َﺠِﺣ َﻲِﻥﺎ َﻤَﺛ ﻲِﻥَﺮُﺟْﺄَﺗ ْنَأ ﻰ َﻠَﻋ ِﻦْﻴَﺗﺎ َه ﱠﻲَﺘَﻨْﺑا ىَﺪْﺣِإ َﻚ َﺤِﻜْﻥُأ ْنَأ ُﺪ ﻳِرُأ ﻲﱢﻥِإ َلﺎَﻗ ْﻨِﻋ ْﻦِﻤَﻓ اًﺮْﺸَﻋ َكِﺪ
Artinya: "Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah suatu kebaikan) dari kamu" (QS. Al-Qashash:27).
Menurut Imam Syafi'i, Imam Ahmad dan Imam Daud ad-Dhahiry, bahwa membebaskan budak dapat dijadikan sebagai mas kawin. Maksudnya, apabila seseorang hendak menikahi seorang wainta yang masih menjadi budak belian, kemudian ia membebaskannya dan menjadikan pembebasannya itu sebagai mas kawinnya, maka boleh-boleh saja. Sedangkan menurut sebagian ulama lain, membebaskan budak tidak boleh dijadikan sebagai mas kawin.
Dalil kelompok yang membolehkan adalah dalam sebuah hadits dikatakan bahwa
Rasulullah saw menikahi Shafiyyah dengan maskawin membebaskannya dari budak belian menjadi seorang yang merdeka dan dalam hadits tersebut tidak ada keterangan bahwa hal itu khusus untuk Rasulullah saw. Karena tidak ada keterangan kekhususan itulah, maka ia berarti berlaku dan diperbolehkan juga untuk seluruh ummatnya termasuk kita. Hadits dari HR. Bukhari Muslim yang memiliki arti sebagai berikut :
"Dari Anas, bahwasannya Rasulullah saw membebaskan Shafiyyah dan menjadikan pembebasannya itu sebagai mas kawinnya" (HR. Bukhari Muslim).
Sedangkan bagi yang menolak mengatakan bahwa hadits di atas adalah khusus untuk Rasulullah saw saja. Artinya, mas kawin dengan membebaskan budak itu hanya diperbolehkan untuk Rasulullah saw saja dan tidak yang lainnya. Namun demikian, penulis lebih condong untuk mengambil pendapat yang membolehkan karena sebagaimana telah dijelaskan di atas, tidak ada keterangan dan dalil lain yang mengatakan bahwa hal itu khusus untuk Rasulullah saja. Karena tidak ada keterangan yang mengkhususkan itulah, hukum yang dikandung dalam hadits di atas berlaku umum termasuk juga untuk ummatnya.
Bolehkah seorang laki-laki masuk Islam lalu masuk Islamnya itu dijadikan sebagai mas kawin? Para ulama berbeda pendapat. Bagi Jumhur ulama, masuk Islamnya seseorang boleh dijadikan mas kawin. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits dari HR. Nasa 'i yang memiliki arti berikut ini:
Anas berkata: "Abu Thalhah menikahi Ummu Sulaim dengan mas kawinnya adalah masuk Islam (masuk Islamnya Abu Thalhah). Ummu Sulaim masuk Islam sebelum Abu Thalhah. Kemudian Abu Thalhah meminangnya. Ketika meminangnya, Ummu Sulaim berkata: "Saya sudah masuk Islam, jika kamu masuk Islam juga, maka saya siap menikah dengan kamu". Abu Thalhah akhirnya masuk Islam dan masuk Islamnya itu dijadikan sebagai mas kawin keduanya" (HR. Nasa'i).
Sedangkan ulama yang mentidakbolehkan masuk Islamnya seseorang dijadikan mas kawin adalah Ibnu Hazm. Ibnu Hazm memberikan catatan penting untuk hadits di atas dengan mengatakan:
Pertama, kejadian dalam hadits di atas terjadi beberapa saat sebelum hijrah ke Madinah, karena Abu Thalhah termasuk sahabat Rasulullah saw dari golongan Anshar yang masuk Islam paling awal. Dan pada saat itu, belum ada kewajiban mahar bagi wanita yang hendak dinikahi.
Kedua, dalam hadits di atas juga tidak disebutkan bahwa kejadian itu diketahui oleh
Rasulullah saw. Karena tidak diketahui oleh Rasulullah saw, maka posisinya tidak mempunyai ketetapan hokum, karena Rasulullah saw tidak mengiyakannya juga tidak melarangnya. Karena tidak ada kepastian hokum itulah, maka ia harus dikembalikan kepada asalnya, bahwa ia tidak bias dijadikan sebagai mas kawin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar