Rabu, 29 Juli 2015

Makna Idul Fitri

Idul fitri berasal dari dua kata; id [arab: عيد] dan al-fitri [arab: الفطر].
Id secara bahasa berasal dari kata aada – ya’uudu [arab: عاد – يعود], yang artinya kembali. Hari raya disebut ‘id karena hari raya terjadi secara berulang-ulang, dimeriahkan setiap tahun, pada waktu yang sama. Ibnul A’rabi mengatakan,
سمي العِيدُ عيداً لأَنه يعود كل سنة بِفَرَحٍ مُجَدَّد
Hari raya dinamakan id karena berulang setiap tahun dengan kegembiraan yang baru. (Lisan Al-Arab, 3/315).
Ada juga yang mengatakan, kata id merupakan turunan kata Al-Adah [arab: العادة], yang artinya kebiasaan. Karena masyarakat telah menjadikan kegiatan ini menyatu dengan kebiasaan dan adat mereka. (Tanwir Al-Ainain, hlm. 5).
Selanjutnya kita akan membahas arti kata fitri.
Perlu diberi garis sangat tebal dengan warna mencolok, bahwa fitri TIDAK sama dengan fitrah. Fitri dan fitrah adalah dua kata yang berbeda. Beda arti dan penggunaannya. Namun, mengingat cara pengucapannya yang hampir sama, banyak masyarakat indonesia menyangka bahwa itu dua kata yang sama. Untuk lebih menunjukkan perbedaannnya, berikut keterangan masing-masing,
Pertama, Kata Fitrah
Kata fitrah Allah sebutkan dalam Al-Quran,
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ
Hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (QS. Ar-Rum: 30).
Ibnul Jauzi menjelaskan makna fitrah,
الخلقة التي خلق عليها البشر
“Kondisi awal penciptaan, dimana manusia diciptakan pada kondisi tersebut.” (Zadul Masir, 3/422).
Dengan demikian, setiap manusia yang dilahirkan, dia dalam keadaan fitrah. Telah mengenal Allah sebagai sesembahan yang Esa, namun kemudian mengalami gesekan dengan lingkungannya, sehingga ada yang menganut ajaran nasrani atau agama lain. Ringkasnya, bahwa makna fitrah adalah keadaan suci tanpa dosa dan kesalahan.

Kedua, kata Fitri
Kata fitri berasal dari kata afthara – yufthiru [arab: أفطر – يفطر], yang artinya berbuka atau tidak lagi berpuasa. Disebut idul fitri, karena hari raya ini dimeriahkan bersamaan dengan keadaan kaum muslimin yang tidak lagi berpuasa ramadhan.
Terdapat banyak dalil yang menunjukkan hal ini, diantaranya
1. Hadis tentang anjuran untuk menyegerahkan berbuka,
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا يزال الدين ظاهراً، ما عجّل النّاس الفطر؛ لأنّ اليهود والنّصارى يؤخّرون
“Agama Islam akan senantiasa menang, selama masyarakat (Islam) menyegerakan berbuka. Karena orang yahudi dan nasrani mengakhirkan waktu berbuka.” (HR. Ahmad 9810, Abu Daud 2353, Ibn Hibban 3509 dan statusnya hadia hasan).
Dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تزال أمَّتي على سُنَّتي ما لم تنتظر بفطرها النّجوم
“Umatku akan senantiasa berada di atas sunahku, selama mereka tidak menunggu waktu berbuka dengan terbitnya bintang.” (HR. Ibn Khuzaimah dalam Shahihnya 3/275, dan sanadnya shahih).
Kata Al-Fithr pada hadis di atas maknanya adalah berbuka, bukan suci. Makna hadis ini menjadi aneh, jika kata Al-Fithr kita artikan suci.
“Umatku akan senantiasa berada di atas sunnahku, selama mereka tidak menunggu waktu bersuci dengan terbitnya bintang”
Dan tentu saja, ini keluar dari konteks hadis.
2. Hadis tentang cara penentuan tanggal 1 ramadhan dan 1 syawal
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ، وَالفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ
“Hari mulai berpuasa (tanggal 1 ramadhan) adalah hari di mana kalian semua berpuasa. Hari berbuka (hari raya 1 syawal) adalah hari di mana kalian semua berbuka.” (HR. Turmudzi 697, Abu Daud 2324, dan dishahihkan Al-Albani).
Idul Fitri atau kembali kepada fitrah merupakan pengertian yang sangat relevan atau berhubungan dengan makna sebenarnya dari keberhasilan yang diperoleh setelah berakhirnya pelaksanaan ibadah puasa. Beberapa sumber juga menganalogikan Idul Fitri atau Lebaran sebagai jalan menuju kepada keadaan fitrah manusia layaknya seperti seorang bayi yang baru dilahirkan, bersih dan tanpa dosa. Hal tersebut merujuk pada perjanjian awal atau "Perjanjian Primordial" yang berisi pengakuan manusia terhadap Ke-Esa-an Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang patut di sembah sebagaimana terangkum dalam Surah al-A’raf (7) ayat 172 :

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي ءَادَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ

(Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhan-mu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau adalah Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”).

Pengertian atau makna dari Idul Fitri (Lebaran) yang berikutnya adalah:
  • Idul Fitri merupakan penggabungan kata "Ied" yang berarti Hari Raya dan "Fitri" yang artinya berbuka puasa. Jadi Idul Fitri bisa juga diartikan sebagai hari berbuka secara massal kaum muslimin setelah sebulan lamanya menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Kebahagiaan yang dirasakan pada saat menjelang waktu berbuka puasa di waktu maghrib selama sebulan seakan dimanifestasikan pada tanggal 1 Syawal di Hari Raya Idul Fitri. Idul Fitri merupakan bentuk dari pengekspresian sebagai ”Iduna Ahlil Islam”, sabda Nabi, (Hari Raya kami penganut Islam) sebab Hari Raya Idul Fitri adalah hari makan-minum serta bersuka cita atau " yaumu aklin wa syurbin wa bahjatin" sehingga diharamkan bagi umat muslim untuk berpuasa.

Oleh karena Idul Fitri bermakna Hari bersuka cita, maka pada hari besar itu semua harus terbebas dari kesedihan, kesusahan dan jangan sampai ada orang yang meminta-minta. Makna sebenarnya dari kalimat tersebut adalah diwajibkan bagi umat muslim yang mampu untuk membayar zakat yang berupa zakat fitrah kepada fakir miskin sebagai bentuk dari berbagi kebahagiaan dari mereka yang tidak berpunya agar bisa merasakan suka cita pada hari tersebut.

Selasa, 28 Juli 2015

Berlian Simbol Kesetiaan

Berlian adalah batu permata yang paling kuat. Batu ini juga menjadi simbol kesetiaan dan kepolosan. Karena makna yang dimilikinya inilah, berlian dipilih menjadi batu permata yang menghias cincin pernikahan.  Wanita biasanya senang mengkoleksi batu, maka berlian merupakan salah satu yang wajib dimiliki karena harga yang tergolong tinggi dan keindahan dari berlian itu sendiri. Dengan nilainya yang cukup tinggi berlian bisa disimpan sebagai investasi. 







Senin, 27 Juli 2015

Menikah Di Bulan Syawal

Dalil sunnah menikah di bulan Syawal

‘Aisyah radiallahu ‘anha istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan,
تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللهِ فِي شَوَّالٍ، وَبَنَى بِي فِي شَوَّالٍ، فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللهِ كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي؟، قَالَ: ((وَكَانَتْ عَائِشَةُ تَسْتَحِبُّ أَنْ تُدْخِلَ نِسَاءَهَا فِي شَوَّالٍ))
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menikahiku di bulan Syawal, dan membangun rumah tangga denganku pada bulan syawal pula. Maka isteri-isteri Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam yang manakah yang lebih beruntung di sisinya dariku?” (Perawi) berkata, “Aisyah Radiyallahu ‘anhaa dahulu suka menikahkan para wanita di bulan Syawal” (HR. Muslim).
Sebab Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam menikahi ‘Aisyah di bulan Syawal adalah untuk menepis anggapan bahwa menikah di bulan Syawal adalah kesialan dan tidak membawa berkah. Ini adalah keyakinan dan aqidah Arab Jahiliyah. Ini tidak benar, karena yang menentukan beruntung atau rugi hanya Allah Ta’ala.
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi ‘Aisyah untuk membantah keyakinan yang salah sebagian masyarakat yaitu tidak suka menikah di antara dua ‘ied (bulan Syawal termasuk di antara ‘idul fitri dan ‘idul Adha), mereka khawatir akan terjadi perceraian. Keyakinan ini tidaklah benar.” (Al-Bidayah wan Nihayah, 3/253).
Imam An-Nawawi rahimahullah juga menjelaskan, “Di dalam hadits ini terdapat anjuran untuk menikahkan, menikah, dan membangun rumah tangga pada bulan Syawal. Para ulama kami (ulama syafi’iyyah) telah menegaskan anjuran tersebut dan berdalil dengan hadits ini. Dan Aisyah Radiyallahu ‘anhaa ketika menceritakan hal ini bermaksud membantah apa yang diyakini masyarakat jahiliyyah dahulu dan anggapan takhayul sebagian orang awam pada masa kini yang menyatakan kemakruhan menikah, menikahkan, dan membangun rumah tangga di bulan Syawwal. Dan ini adalah batil, tidak ada dasarnya. Ini termasuk peninggalan jahiliyyah yang ber-tathayyur (menganggap sial) hal itu, dikarenakan penamaan syawal dari kata al-isyalah dan ar-raf’u (menghilangkan/mengangkat).” (yang bermakna ketidakberuntungan menurut mereka)” (Syarh Shahih Muslim 9/209).

Minggu, 12 Juli 2015

Keluarga Bahagia Sejahtera

Setiap keluarga pasti ingin bahagia dan sejahtera. Setiap keluarga memiliki definisi dan impian tersendiri tentang bahagia dan sejahtera. Setiap keluarga pun memiliki cara yang berbeda untuk mewujudkan visi “menjadi bahagia dan sejahtera”. Meski setiap keluarga memiliki definisi, visi, dan cara yang berbeda untuk menjadi bahagia dan sejahtera, tapi satu hal pasti disepakati oleh semua keluarga adalah bahwa kebahagian dan kesejahteraan keluarga harus dibangun dan ditumbuh-kembangkan, tidak dapat tercipta begitu saja.
Ada tiga pilar yang menurut saya perlu dikembangkan dalam membangun keluarga bahagia sejahtera:
  • Menyamakan visi dalam membangun keluarga bahagia sejahtera. Perlu kesepakatan mengenai visi bahagia dan sejahtera dalam keluarga. Perlu dikomunikasikan bahagia sejahtera macam apa yang ingin diwujudkan dalam keluarga. Tentu tidak melulu terkait dengan materi. Visi membangun keluarga biasanya dituntun oleh keyakinan dan nilai-nilai kehidupan yang dianut. Visi yang disepakati akan mengarahkan perilaku anggota keluarga dalam merealisasikan visi. Sebagai contoh, bila sebuah keluarga memiliki visi “menciptakan keluarga yang saling menyayangi atas dasar ketaqwaan, berkecukupan, dan mampu berbagi”, maka tindakan akan diarahkan untuk merealisasikannya. Tindakan yang mengarah pada pencapaian visi tersebut, misalnya kesepakatan untuk sholat berjamaah pada waktu tertentu (bagi yang muslim), bicara dengan santun, suami giat bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga, istri pandai berhemat dan berprioritas agar kebutuhan keluarga tercukupi, mengalokasi sebagian dana untuk berbagi dengan sesama, dan sebagainya.
  • Mendefinisi dan menjalankan peran (hak dan kewajiban) masing-masing anggota keluarga secara konsisten. Keluarga merupakan organisasi mini, yang terdiri dari kumpulan beberapa orang, memiliki tujuan, dan masing-masing orang didalamnya memiliki peran yang harus dijalankan untuk mencapai tujuan. Layaknya organisasi, keluarga perlu dimanage sedemikian rupa agar tujuan atau visi bisa terealisasi. Begitu menikah, alangkah baik bila suami-istri segera mengkomunikasikan peran (hak dan kewajiban, koridor yang boleh dan tidak) masing-masing, agar organisasi mini (keluarga) bisa berjalan dengan baik. Bagaimana peran suami dan istri bila suami sebagai pencari nafkah sementara istri tidak berkarir, mungkin tidak sama bila suami istri sama-sama berkarir. Tentu tidak ada istilah menang-kalah, banyak-sedikit, dalam mendifinisi peran. Peran yang telah disepakati harus dijalankan masing-masing pihak secara konsisten, meskipun diperlukan fleksibilitas pada kondisi tertentu. Intinya, suami-istri atau ayah-ibu-anak menjalankan peran masing-masing, namun tetap saling membantu dan melengkapi dalam menjalankan peran.
  • Melakukan komunikasi dan evaluasi/introspeksi secara terus menerus. Setelah visi dan tujuan ditetapkan, peran masing-masing anggota keluarga dijalankan, maka pilar ketiga adalah kesinambungan komunikasi dan evaluasi dalam dan antar anggota keluarga. Komunikasi dan evaluasi bermanfaat untuk memastikan apakah peran telah dilaksanakan dengan baik, dan perilaku telah diarahkan untuk mencapai tujuan. Perselisihan dalam keluarga biasanya terjadi karena ketidaksesuaian peran atau perilaku yang tidak mengarah pada tujuan. Setiap anggota keluarga perlu introspeksi dan mengkomunikasikan ketidaksesuaian peran atau perilaku yang menyimpang dari tujuan agar masalah tidak terlanjur menjadi besar.

Demikian, tiga pilar yang perlu dikembangkan dalam membangun keluarga bahagia sejahtera. Mungkin saudara punya pilar-pilar lain yang bisa melengkapi. Yang penting, apapun pilar itu, perlu action untuk mewujudkannya. Semoga bermanfaat.

Sabtu, 11 Juli 2015

Ciri Istri Sholehah

Kebanyakan laki-laki lebih memperhatikan penampilan dzahir seorang wanita, sementara unsur akhlak dari wanita tersebut kurang diperhatikan. Padahal akhlak dari pasangan hidupnya itulah yang akan banyak berpengaruh terhadap kebahagiaan rumah tangganya.
Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhuma meriwayatkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الدُّنْيَا مَتاَعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
“Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim no. 1467)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu:
أَلاَ أُخْبِرَكَ بِخَيْرِ مَا يَكْنِزُ الْمَرْءُ، اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهَ وَإِذَا أَمَرَهَا أَطَاعَتْهَ وَإِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهَ
“Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki, yaitu istri shalihah yang bila dipandang akan menyenangkannya, bila diperintah akan mentaatinya, dan bila ia pergi si istri ini akan menjaga dirinya.” (HR. Abu Dawud no. 1417. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata dalam Al-Jami’ush Shahih 3/57: “Hadits ini shahih di atas syarat Muslim.”)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah pula bersabda:
أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ: اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ، وَالْجَارُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيُّ. وَأَرْبَعٌ مِنَ الشّقَاءِ: الْجَارُ السّوءُ، وَاَلْمَرْأَةُ السُّوءُ، وَالْمَركَبُ السُّوءُ، وَالْمَسْكَنُ الضَّيِّقُ.
“Empat perkara termasuk dari kebahagiaan, yaitu wanita (istri) yang shalihah, tempat tinggal yang luas/ lapang, tetangga yang shalih, dan tunggangan (kendaraan) yang nyaman. Dan empat perkara yang merupakan kesengsaraan yaitu tetangga yang jelek, istri yang jelek (tidak shalihah), kendaraan yang tidak nyaman, dan tempat tinggal yang sempit.” (HR. Ibnu Hibban dalam Al-Mawarid hal. 302, dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ush Shahih, 3/57 dan Asy-Syaikh Al Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 282)
Ketika Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, harta apakah yang sebaiknya kita miliki?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
لِيَتَّخِذْ أَحَدُكُمْ قَلْبًا شَاكِرًا وَلِسَاناً ذَاكِرًا وَزَوْجَةً مُؤْمِنَةً تُعِيْنُ أَحَدَكُمْ عَلَى أَمْرِ الآخِرَةِ
“Hendaklah salah seorang dari kalian memiliki hati yang bersyukur, lisan yang senantiasa berdzikir dan istri mukminah yang akan menolongmu dalam perkara akhirat.” (HR. Ibnu Majah no. 1856, dishahihkan Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahih Ibnu Majah no. 1505)
Cukuplah kemuliaan dan keutamaan bagi wanita shalihah dengan anjuran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi lelaki yang ingin menikah untuk mengutamakannya dari yang selainnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ ِلأََرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا. فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita itu dinikahi karena empat perkara yaitu karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang punya agama, engkau akan beruntung.” (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 1466)
Lalu, bagaimanakah ciri-ciri wanita solehah itu? Dan Apa keutamaan yang di miliki oleh seorang wanita solehah?Nah, dalam ulasan ini saya tidak akan menceritakan secara rinci tentang apa saja ciri-ciri yang dimiliki oleh seorang wanita yang solehah. Namun dalam tulisan tentang ciri-ciri dan keutamaan wanita solehah ini, saya akan sampaikan mengenai pahala, manfa’at ataupun keutamaan-keutamaan bagi wanita yang solehah.
~ SIFAT ISTRI SHOLEHAH:
1. Penuh kasih sayang
selalu kembali kepada suaminya dan mencari maafnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Maukah aku beritahukan kepada kalian, istri-istri kalian yang menjadi penghuni surga yaitu istri yang penuh kasih sayang, banyak anak, selalu kembali kepada suaminya. Di mana jika suaminya marah, dia mendatangi suaminya dan meletakkan tangannya pada tangan suaminya seraya berkata: “Aku tak dapat tidur sebelum engkau ridha.” (HR. An-Nasai dalam Isyratun Nisa no. 257. Silsilah Al-Ahadits Ash Shahihah, Asy- Syaikh Al Albani rahimahullah, no. 287)
2. Melayani suaminya (berkhidmat kepada suami)
seperti menyiapkan makan minumnya, tempat tidur, pakaian, dan yang semacamnya.
3. Menjaga rahasia-rahasia suami
lebih-lebih yang berkenaan dengan hubungan intim antara dia dan suaminya. Asma’ bintu Yazid radhiallahu ‘anha menceritakan dia pernah berada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu kaum lelaki dan wanita sedang duduk. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Barangkali ada seorang suami yang menceritakan apa yang diperbuatnya dengan istrinya (saat berhubungan intim), dan barangkali ada seorang istri yang mengabarkan apa yang diperbuatnya bersama suaminya?” Maka mereka semua diam tidak ada yang menjawab. Aku (Asma) pun menjawab: “Demi Allah! Wahai Rasulullah, sesungguhnya mereka (para istri) benar-benar melakukannya, demikian pula mereka (para suami).” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jangan lagi kalian lakukan, karena yang demikian itu seperti syaithan jantan yang bertemu dengan syaitan betina di jalan, kemudian digaulinya sementara manusia menontonnya.” (HR. Ahmad 6/456, Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Adabuz Zafaf (hal. 63) menyatakan ada syawahid (pendukung) yang menjadikan hadits ini shahih atau paling sedikit hasan)
4. Selalu berpenampilan yang bagus dan menarik di hadapan suaminya
sehingga bila suaminya memandang akan menyenangkannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki, yaitu istri shalihah yang bila dipandang akan menyenangkannya, bila diperintah akan mentaatinya dan bila ia pergi si istri ini akan menjaga dirinya”. (HR. Abu Dawud no. 1417. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata dalam Al-Jami’ush Shahih 3/57: “Hadits ini shahih di atas syarat Muslim.”)
5. Ketika suaminya sedang berada di rumah (tidak bepergian/ safar), ia tidak menyibukkan dirinya dengan melakukan ibadah sunnah yang dapat menghalangi suaminya untuk istimta’ (bernikmat-nikmat) dengannya seperti puasa, terkecuali bila suaminya mengizinkan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak halal bagi seorang istri berpuasa (sunnah) sementara suaminya ada (tidak sedang bepergian) kecuali dengan izinnya”. (HR. Al-Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
6. Pandai mensyukuri pemberian dan kebaikan suami, tidak melupakan kebaikannya
karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Diperlihatkan neraka kepadaku, ternyata aku dapati kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita yang kufur.” Ada yang bertanya kepada beliau: “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau menjawab: “Mereka mengkufuri suami dan mengkufuri (tidak mensyukuri) kebaikannya. Seandainya salah seorang dari kalian berbuat baik kepada seorang di antara mereka (istri) setahun penuh, kemudian dia melihat darimu sesuatu (yang tidak berkenan baginya) niscaya dia berkata: “Aku tidak pernah melihat darimu kebaikan sama sekali.” (HR. Al-Bukhari no. 29 dan Muslim no. 907)
7. Bersegera memenuhi ajakan suami untuk memenuhi hasratnya, tidak menolaknya tanpa alasan yang syar’i, dan tidak menjauhi tempat tidur suaminya
karena ia tahu dan takut terhadap berita Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak (enggan) melainkan yang di langit murka terhadapnya hingga sang suami ridha padanya.” (HR. Muslim no.1436
~ KEUTAMAAN & PAHALA BAGI ISTRI SHOLEHAH
1. Satu orang wanita yang solehah lebih baik daripada 70 orang wali atau laki-laki yang sholeh.
2. Satu orang wanita yang jahat akhlaqnya, lebih buruk daripada 1000 orang laki-laki yang juga jahat akhlaqnya.
3. Dua raka’at sholatnya wanita yang sedang hamil, lebih baik daripada 80 raka’at sholatnya wanita yang tidak hamil.
4. Apabila seorang suami pulang kerumah dalam keadaan gelisah dan tidak tentram, kemudian sang istri menghiburnya, maka ia akan mendapatkan setengah dari pahala jihad.
5. Wanita yang hamil sampai ia melahirkan anak, maka Allah Swt. akan memberikan pahala kepadanya bagaikan pahala berpuasa di siang hari dan sholat sepanjang malam.
6. Seorang wanita yang meninggal dunia pada masa 40 hari setelah ia melahirkan anak, maka ia akan mendapatkan pahala syahid.
7. Jika seorang anak menangis pada malam hari dan ibunya tidak memarahinya, dan bahkan membujuknya, maka ibu itu akan mendapat pahala ibadah.
8. Seorang wanita yang melahirkan akan mendapatkan pahala 70 tahun sholat sunnat dan puasa, dan setiap kesakitan yang di alaminya ketika melahirkan akan mendapat pahala haji yang mabrur.
9. Seorang wanita yang tidak dapat tidur pada malam hari karena mengurus anaknya yang sakit atau demam, maka Allah Swt. akan memberikan pahala kepadanya seperti pahala memerdekakan 20 orang hamba sahaya.
10. Wanita yang tidak dapat tidur pada waktu malam karena menyusui anaknya, Allah Swt. akan mengampuni dosa-dosanya dan di beri pahala 12 tahun ibadah.
Itulah beberapa pahala dan keutamaan menjadi wanita yang solehah.
11. Wahai wanita, jika suami minum air yang disediakan istrinya maka hal itu lebih baik dari puasa 1 tahun.
12. Jika istri menyediakan makan dan suami memakannya, maka hal tersebut lebih baik dari mengerjakan haji/umrah.
13. Junub istri karena melayani suami lebih baik dari qurban 1000 kambing.
14.Tidak akan putus pahala istri yang siang malam menggembirakan suami.
15. Wanita yang menjaga kehormatannya dan taat pada suami maka dapat masuk pintu syurga dari arah yang disukainya.
16. Wanita yang dapat memelihara anak dengan baik dapat menjadikannya benteng dari neraka.
17.Jika wanita memandang yang baik dan harmonis kepada suami hal tersebut sama dengan dzikir.
18.Hamil istri adalah syahid dan khidmat dan suaminya adalah jihad.
Jadilah istri sholehah untuk bekal akhirat nanti, karena janji Allah tidak pernah bohong. Semoga artikel singkat ini dapat memotivasi para wanita bangsa ini untuk menjadi wanita yang solehah. Karena kebaikan suatu bangsa terletak pada moral dan prilaku para wanitanya.

Jumat, 10 Juli 2015

Kualitas Pribadi


1. Ketulusan

Ketulusan menempati peringkat pertama sebagai sifat yang paling disukai oleh semua orang. Ketulusan membuat orang lain merasa aman dan dihargai karena yakin tidak akan dibodohi atau dibohongi. Orang yang tulus selalu mengatakan kebenaran, tidak suka mengada-ada, pura-pura, mencari-cari alasan atau memutarbalikkan fakta. Prinsipnya "Ya diatas Ya dan Tidak diatas Tidak". Tentu akan lebih ideal bila ketulusan yang selembut merpati itu diimbangi dengan kecerdikan seekor ular. Dengan begitu, ketulusan tidak menjadi keluguan yang bisa merugikan diri sendiri.


2. Rendah Hati


Beda dgn rendah diri yg merupakan kelemahan, kerendahhatian justru mengungkapkan kekuatan. Hanya orang yang kuat jiwanya yang bisa bersikap rendah hati. Ia seperti padi yang semakin berisi semakin menunduk. Orang yang rendah hati bisa mengakui dan menghargai keunggulan orang lain. Ia bisa membuat orang yang diatasnya merasa oke dan membuat orang yang di bawahnya tidak merasa minder.


3. Kesetiaan


Kesetiaan sudah menjadi barang langka & sangat tinggi harganya. Orang yg setia selalu bisa dipercaya dan diandalkan. Dia selalu menepati janji, punya komitmen yang kuat, rela berkorban dan tidak suka berkhianat. 


4. Bersikap Positif


Orang yang bersikap positif selalu berusaha melihat segala sesuatu dari kacamata positif, bahkan dalam situasi yang buruk sekalipun. Dia lebih suka membicarakan kebaikan daripada keburukan orang lain, lebih suka bicara mengenai harapan drpd keputusasaan, lebih suka mencari solusi daripada frustasi, lebih suka memuji daripada mengecam, dsb.


5. Keceriaan


Karena tidak semua orang dikaruniai temperamen ceria, maka keceriaan tidak harus diartikan ekspresi wajah dan tubuh tapi sikap hati. Orang yang ceria adalah orang yang bisa menikmati hidup, tidak suka mengeluh dan selalu berusaha meraih kegembiraan. Dia bisa mentertawakan situasi, orang lain, juga dirinya sendiri. Dia punya potensi untuk menghibur dan mendorong semangat orang lain.


6. Bertanggung Jawab


Orang yang bertanggung jawab akan melaksanakan kewajibannya dengan sungguh-sungguh. Kalau melakukan kesalahan, dia berani mengakuinya. Ketika mengalami kegagalan, dia tidak akan mencari kambing hitam untuk disalahkan. Bahkan kalau dia merasa kecewa dan sakit hati, dia tidak akan menyalahkan siapapun. Dia menyadari bahwa dirinya sendirilah yang bertanggung jawab atas apapun yang dialami dan dirasakannya.


7. Kepercayaan Diri


Rasa percaya diri memungkinkan seseorang menerima dirinya sebagaimana adanya, menghargai dirinya dan menghargai orang lain. Orang yang percaya diri mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan dan situasi yang baru. Dia tahu apa yang harus dilakukannya dan melakukannya dengan baik.


8. Kebesaran Jiwa


Kebesaran jiwa dapat dilihat dr kemampuan seseorang memaafkan orang lain. Orang yang berjiwa besar tidak membiarkan dirinya dikuasai oleh rasa benci dan permusuhan. Ketika menghadapi masa-masa sukar dia tetap tegar, tidak membiarkan dirinya hanyut dalam kesedihan dan keputusasaan.


9. Easy Going


Orang yang easy going menganggap hidup ini ringan. Dia tidak suka membesar-besarkan masalah kecil. Bahkan berusaha mengecilkan masalah-masalah besar. Dia tidak suka mengungkit masa lalu dan tidak mau khawatir dengan masa depan. Dia tidak mau pusing dan stress dengan masalah-masalah yang berada di luar kontrolnya.


10. Empaty


Empati adalah sifat yg sangat mengagumkan. Orang yg berempati bukan saja pendengar yang baik tapi juga bisa menempatkan diri pada posisi orang lain. Ketika terjadi konflik dia selalu mencari jalan keluar terbaik bagi kedua belah pihak, tidak suka memaksakan pendapat dan kehendaknya sendiri. Dia selalu berusaha memahami dan mengerti orang lain.

Kamis, 09 Juli 2015

Syarat Nikah

A. Calon Suami
Syarat Calon Suami yaitu:
  • Beragama Islam
  • Laki-laki
  • Tidak terpaksa/dipaksa
  • Bukan mahram perempuan calon istri
  • Tidak sedang berihram haji atau umroh

Nah jadi sangat penting sebelum menikah kita bertanya apakah calon kita itu terpaksa atau tidak.

B. Calon Istri
Syarat calon istri yaitu:
  • Beragama Islam
  • Jelas Perempuan
  • Bukan Mahram bagi suami
  • Tidak ada halangan Syar’i,yakni tidak bersuami atau tidak sedang dalam masa iddah


C. Wali Nikah
Wali nikah adalah wali pengantin perempuan yang melakukan akad nikah dengan pengntin laki-laki. Syarat untuk menjadi wali nikah yang utama adalah Islam, laki-laki,balig,berakal sehat,dan adil.
Adapun mengenai hal perwalian, dinyatakan dalam syariat islam tentang nikah, bahwa adanya wali merupakan rukun yang harus dipenuhi. Jika tidak ada wali nikah maka tidak ada pernikahan. Adapun wali yang mengakadkan pernikahan terbagi menjadi 4 macam, yaitu :

1. Wali nasab, artinya wali yang ada hubungan darah dengan perempuan yang hendak dinikahkan,lebih jauh lagi disebut wali ab,ad.urutan wali itu sebagai berikut:
  • Ayah kandung
  • Kakek dari pihak bapak terus ke atas
  • Saudara laki-laki kandung
  • Saudara laki-laki sebapak
  • Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
  • Anak laki-laki saidara laki-laki sebapak
  • Paman(saudara laki-laki bapak) sekandung
  • Paman (saudara laki-laki bapak) sebapak
  • Anak laki-laki dari paman sekandung
  • Anak laki-laki dari paman sebapak
2. Wali hakim, yaitu wali dari pejabat yang berhak untuk jadi wali nikah karena keadaan tertentu.Perwalian ini dilakukan bila nasab tidak ada di tempat (ghaib), atau sedang di perjalanan (tugas) atau haji/umrah,atau hilang.

3. Wali mujbiryaitu wali yang berhak menikahkan perempuan tanpa terlebih dahulu meminta izin kepada perempuan yang akan dinikahkan itu,seperti bapak,kakek,dan seterusnya ke atas.

4. Wali a’dal, yaitu wali yang enggan / menolak menikahkan perempuan di bawah kewaliannya.

D . Saksi Nikah
Saksi nikah adalah orang yang menjadi saksi atas pernikahan yang diilaksanakan.Saksi nikah minimal harus berjumlah dua orang saksi laki-laki. Adapun syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk menjadi saksi nikah adlah sebagai berikut: 
Beragama islam,laki-laki,balig/sudah dewasa,berakal sehat,merdeka,adil,dan dapat mendengar dan melihat,paham terhadapa bahasa yang digunakan dalam akad,tidak dipaksa,dan tidak sedang ihrom.

E. Sigat/Ijab qobul
Ijab qobul adalah perkataan dari pihak wali perempuan,seperti :”saya nikahkan engkau dengan anak saya yang bernama Fulanah binti fulanin dengan mas kawin seperangkat alat shalat dibayar tunai!” Kemudian mempelai pria menjawab: “Saya terima nikahnya Fulanah binti Fulanin dengan mas kawin yang telah disebutkan tersebut dibayar dengan tunai!”

Kata-kata ini diucapkan setelah terjadi khutbah nikah ,yakni pidato yang diucapkan sebelum akad nikah dilangsungkan. Adapun syarat lafal ijab qobul tersebut antara lain :
  • Menggunakan lafal nikah atau tazwij, baik dengan bahasa arab atau daerah.
  • Lafal ijab qobul diucapkan oleh pelaku akad nikah
  • Ijab qobul harus bersambung tidak boleh terselingi oleh perkataan atau perbuatan lain
  • Pelaksaan ijab qobul berada dalam satu majelis
  • Tidak dikaitkan dengan sesuatu
  • Tidak dibatasi dengan waktu tertentu

F. Mahar Nikah
Mahar atau mas kawin adalah pemberian wajib dari suami kepada istrinya dengan sebab pernikahan.Mas kawin hukumnya wajib , tetapi menyebutkannya dalam nikah hukumnya sunah. Kadar mahar dalam islam tidak ada ketentuannya, sedang mahar dalam pelaksanaanya dapat dilakukan secara kontan atau berhutang.

Rabu, 08 Juli 2015

Tips Rumah Tangga Bahagia

Pernikahan adalah perbuatan yang selalu diinginkan dan didambakan oleh setiap manusia yang hidup. Pernikahan itu adalah sunnah Nabi [النكاح سنتى], maka barang siapa yang tidak melaksanakan nikah, kata Nabi saw bukan golongannya [فمن رغب عن سنتئ فليس منى]. Pernikahan harus didasarkan pada agama, ibadah, dan menjalankan sunnah Nabi saw, dan bukan didasarkan pada nafsu belaka atau didasarkan tujuan lain yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. 

Pernikahan harus atas dasar suka sama suka, saling cinta, bukan dasar paksaan, dan bersandar pada ibadah kepada Allah. Sebab, dalam menjalani kehidupan bahtera rumah tangga, bagaikan orang mengarungi samudra luas dan penuh dengan gelombang, pada siang, malam, panas dan hujan bahkan badai dan genlombang harus dilalui. Mungkin saja, cuaca tidak bersahabat yang tidak pernah kita prediksi yang dapat saja datang secara tiba-tiba.Kita harus selalu siap untuk menghadapi dan selalu mengantisipasi setiap perubahan. Maka, apabila seseorang dalan menjalankan rumah tangga tidak memiliki dasar, pedoman, mesti akan terombang-ambing dalam perjalanan rumah tangganya.

Dalam berumah tangga, kita akan melalui perjalanan panjang dan sangat melelahkan dengan tujuan untuk mecapai “pantai kebahagiaan” yang sakinah dan diridhoi Allah.. 
Untuk mencapai “pantai kebahagian” tersebut, tentu saja kita harus:
[1] mempersiapkan diri dan mental, baik suami maupun istri, 
[2] mempersiapkan berbagai keperluan dan bekal agar perjalanan kita terasa aman, nyaman, dan lancer, sebab apabila datang badai dan gelombang, kita akan siap menghadapinya dengan sikap tenang, tidak grogi, tidak takut dan tidak gentar sekalipun dahsatnya badai dan gelombang tersebut, sebab kita memiliki dasar [agama] dan pedoman[al-Qur’an dan Hadis]. 

Untuk mengarungi perjalanan [rumah tangga] itu dengan baik dan lancar, kita perlu mempersiapkan :
Pertama, kapal [rumah tangga] yang kokoh agar tidak macet dalam perjalanan.
Kedua, mesin yang betul-betul baik.
Ketiga, bahan bakar yang cukup dan memadai.
Keempat, membawa peta dan kompas sebagai pedoman perjalanan agar tidak sesat dalam perjalanan. Kelima, membawa peralatan yang memadai untuk mengantipasi macet.
Keenam, nahkoda yang pandai, lihai, dan memiliki strategi untuk mengemudi kapal.
Ketujuh, membawa bekal yang cukup dalam perjalanan.


Pertama : 
Rumah Tangga [الاسرة ], bagaikan kapal [bahtera] yang kokoh. Rumah tangga, harus dibangun atas dasar taqwa, cinta, suka sama suka dan didukung dengan kedua belah pihak keluarga yang merestui serta mengharapkan ridho Ilahi. Selain itu, harus mempunyai niat dan kebulatan tekad untuk berumah tangga atas dasar lillahita’ala, dengan ibadah [salat] – Insya Allah, rumah tangga akan kokoh. Berumah tangga itu sendiri juga sebagai perilaku ibadah kepada Allah dan menjalankan sunnah Nabi saw [النكاح سنتى ].


Kedua : 
Hati [ القلب], sebagai mesin yang bagus. Artinya, suami istri harus punya tujuan yang sama. Berumah tangga bukan untuk hanya sekedar melepas nafsu birahi, melainkan harus memiliki tujuan untuk mencetak generasi-generasi bangsa yang baik, kuat dan tanggung serta bertaqwa kepada Allah swt. Tanpa punya perasaan sehati, mungkin saja tujuan tidak akan tercapai. Maka dengan dasar ini, suami istri harus tahun kepribadian masing-masing dan inilah yang dinamakan ta’aruf [تعارف ].


Ketiga : 
Akhlak [الاخلاق], sebaga bahan bakar. Dalam berumah tangga, apabila hanya berbekal atau memiliki cinta dan perasaan saja, tanpa dibekali dan atau dibarengi dengan akhlak mulia, jangan berandai-andai untuk dapat menguasai medan perjuangan yang berat itu. Akhlak adalah pondasi utama dalam beragama, kata Abul Atahiyah : ليست الدنيا الا بدين وليس الدين الابمكارم الاخلاق , artinya ”tidaklah dikatakan dunia kecuali dengan agama dan tidaklah dikatakan agama kecuali dengan akhlak mulia”. Maka, kita harus membangun rumah tangga dengan akhlak yang muliah. Akhlak sebagi pondasi utama untuk membangun rumah tangga. Prinsip akhlak disini adalah saling menghargai, menghormati, menyayangi, penuh dengan senyum. Sifat ini dinamakan tabassum [التبسم] dan sifat ini sangat dianjurkan Rasulullah saw.


Keempat :

القران الكريم والحديث sebagai peta dan kompas. Sebagai pedoman agar tidak tersesat dalam perjalanan dan ketika menemukan kesulitan, keresahaan, bacalah al-Qur’an dan kemudian kembalikan atau pasrah kepada Allah. Suami dan istri harus saling mengingatkan dan ta’awun atau kerjasama dalam menghadapi kesulitan hidup. Semua persoalan harus diselesaikan berdua dan selalu pasrah kepada Allah. Kata Baihaki, ان ذ كرالله شفاء , ingat pada Allah sebagai obat, dan وان ذكرالناس داء ingat pada manusia penyakit. [البيهقي ].



Kelima :
Nasehat [النصيحة], sebagai peralatan yang dibawa dalam perjlanan. Agama adalah nasehat [الدين النصيحة], maka kembali kepada ajaran agama Islam dalam menghadapi setiap persoalan, sehingga mudah terselesaikan. Maka dalam kehidupan rumah tangga, sepenuh apapun perasaan cinta suami pada istri atau sebaliknya, kesalah fahaman dan perselisihan [baik kecil maupun besar] mesti ada. Suami dan istri harus saling mengingatkan, saling menasihati dengan sabar antara keduanya untuk mencapai kebaikan وتواصو بالحق وتواصو بالصبر ( dan bernasehatlah dalam kebaikan dan kesabaran ) atau mungkin kita butuh nasehat-nasehat orang tua, ustadz, tokoh masyarakat, atau orang yang lebih berpengalaman, sebagai obat pencerahan untuk mencapai tujuan hidup yang mungkin salah dilakukan oleh kita. Maka, setelah mendapatkan nasehat-nasehat akan tumbuh saling percaya, saling memaafkan, dan menghargai kesalah fahaman itu. Sikap ini dinamakan takarrum [التكارم] atau saling menghargai.


Keenam : 
Suami [الزوج ], sebagai nahkoda yang lihai. Suami harus pandai memainkan peranan, dapat menjadi panutan, cerdas melihat situasi, agar penumpang atau orang yang bersamanya merasa aman, tenang dan nyaman. Seorang suami harus memiliki ikhtiar dalam menjalankan perannya, sehingga seburuk apapun situasi dan kondisi yang dihadapinya, harus tenang, sabar, dan berserah diri pada Allah [يبتغون فضلا من الله ورضوانا ], “mereka mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya”. Maka perumpamaan seorang suami, seperti seorang nahkoda yang menghadapi cuaca yang buruk. Dia harus tetap tenang untuk mencapai tujuan, maka secara perlahan-lahan tapi pasti dia akan lalui badai tersebut dan seluruh penumpang pasti akan menghormati dan menghargainya. Penghargaan itu akan datang dengan sendirinya, mungkin saja berupa ucapan terima kasih, mungkin ciuman, pelukan, bahkan dengan kepasrahan diri penumpang dan penumpang tersebut tiada lain adalah istri. Sikap ini dinamakan tala’ub [التلاعب ].


Ketujuh :
Kepasrahan [التسليم], sebagai bekal yang cukup. Dalam menjalani kehidupan rumah tangga, kita harus banyak berusaha [bekerja] dan berdo’a (وابتغ فيما اتاك الله الدار الأخرة ولا تنس نصيبك من الدونيا وأحسن كما احسن الله إليك) " . “ carilah anugrah Allah untuk kehidupan akhirat, tetapi jangan lupa nasib(bagian)mu untuk kehidupan dunia dan berbuat baiklah sebagaimana Allah berbuat baik padamu”. Karena usaha atau bekerja tanpa do’a akan sia-sia, dan begitu juga sebaliknya do’a tanpa usaha atau bekerja adalah mimpi atau angan-angan belaka. Suami harus berusaha mencari nafkah untuk menghidupi istrinya. Suami dan istri harus dapat bekerja sama untuk melindungi perjalanan yang panjang, seorang suami tahu kebutuhan istri dan begitu sebaliknya istri tahu kebutuhan suami. Dengan demikian, akan terbangun sikap saling menghargai dan toleransi dalam berumah tangga. Sifat ini dinamakan tasamuh [التسامح].